Momen Saat Presiden Marah Terhadap Ibrahim
Jakarta - Dia disebut-sebut sebagai salah satu 'jenderal kesayangan' Bung Karno.
Namun soal PKI, dia tak ragu bersilang pendapat dengan sang presiden
hingga membuatnya 'didubeskan'.
SELASA, 5 Oktober 1965. Di tengah situasi panas yang tengah melanda
Jakarta pasca meletusnya Insiden 30 September 1965, sepucuk surat dari
Istana Bogor tiba Wisma Yaso. Surat itu dari Presiden Sukarno untuk
salah satu istrinya Ratna Sari Dewi.
Selain mengabarkan kondisi dirinya,
Sukarno pun memberitahu jika hari itu dia akan memanggil sejumlah
jenderal yang berpengaruh di Angkatan Darat. Salah satunya adalah Mayor
Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima Kodam VI Siliwangi.
"Surat itu kemudian diberikan oleh Ibu Dewi kepada Papi saat mereka
bertemu di Inggris beberapa tahun kemudian,"ungkap Kiki Adjie (71 ),
putra kedua Ibrahim Adjie.
Bukan rahasia lagi saat itu jika Ibrahim Adjie adalah salah satu
'jenderal kesayangan' Bung Karno. Menurut Kiki, saat Si Bung Besar
"terjebak" di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah pada 1
Oktober 1965, secara diam-diam ayahnya mengirimkan 'pesan' ke Halim
untuk secepatnya memindahkan Presiden Sukarno ke Istana Bogor, yang
merupakan wilayah kewenangannya.
"Papi bilang jika tak juga diberangkatkan ke Bogor, dia dan jajarannya akan menyerbu Jakarta,"ujar Kiki.
Singkat cerita, Bung Karno pun diterbangkan ke Istana Bogor. Sehari
kemudian, dia mengirimkan surat singkat kepada Adjie. Isinya: permintaan
untuk menyelamatkan Angkatan Darat Republik Indonesia dari ancaman neo
kolonialisme (nekolim).
Bersama surat itu, Sukarno pun menyelipkan foto dirinya dan selembar uang berjumlah seratus rupiah. Ketiga benda bersejarah itu kini masih dirawat baik oleh Kiki Adjie.
Usai meletusnya Insiden 30 September 1965, di Jakarta sendiri mulai
marak aksi-aksi pengganyangan terhadap PKI. Pada 10 Oktober 1965, kantor
CC PKI yang beralamat di Jalan Kramat Raya no. 81 dibakar massa
antikomunis. Orang-orangnya diburu, disiksa dan bahkan dibunuhi.
Hal yang sama terjadi pula di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali
dan Nusa Tenggara Timur. Dalam waktu yang sangat singkat, tiba-tiba saja
jutaan pengikut komunis di Indonesia menjadi musuh masyarakat nomor
satu.
Situasi tersebut tentu saja membuat Ibrahim Adjie dan Gubernur Mashudi
waswas. Baru saja tiga tahun masyarakat Jawa Barat lepas dari perang
saudara dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), apakah
harus lagi berhadapan dengan kekerasan? Demikian pikir Adjie dan Mashudi
saat itu.
Merasa tidak tega lagi memberikan situasi yang berdarah-darah kepada
masyarakat Jawa Barat, Adjie dan Mashudi lantas membuat keputusan yang
sangat krusial: membubarkan PKI di Jawa Barat.
"Melalui briefing di Aula Kodam VI pada 17 November 1965, Pangdam
VI/Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie di hadapan para wakil partai politik
dan organisasiorganisasi massa mengumumkan pembubaran PKI dan
ormas-ormasnya,"tulis buku'Komunisme di Indonesia Jilid IV:
Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya'(disusun oleh Pusat Sejarah
TNI). Akibat keputusan itu, Adjie kemudian dipanggil Presiden Sukarno ke
Istana Bogor. Di hadapan' anak kesayangannya' itu, Si Bung Besar
menumpahkan rasa kecewa dan marahnya."Itu hak prerogatif presiden, bukan
wewenangmu, Djie!"ujar Sukarno."Tapi saya bertanggungjawab terhadap
rakyat Jawa Barat, Pak.
Dengan membubarkan PKI, maka saya dapat melindungi para anggotanya dari
amukan masyarakat, "jawab Adjie. Bung Karno tetap tak terima. Dia
kembali menyatakan bahwa'kesalahan segelintir pimpinan PKI, tidak
berarti menjadikan partai-nya menjadi salah'.
Sebaliknya, Adjie pun ngotot merasa telah berbuat benar. Perdebatan pun tak menemui
ujung. Mereka berdua akhirnya berpisah dalam situasi yang tidak
mengenakan. Hal yang sama kemudian terulang kembali pada 13 Maret 1966.
Kepada Wakil Perdana Menteri II J. Leimena, Adjie'membenarkan 'apa yang
dilakukan Letnan Jenderal Soeharto ketika membubarkan PKI secara
nasional menyusul turunnya Surat Perintah 11 Maret( Supersemar).
Leimena
mengatakan tindakan Soeharto itu membuat Sukarno sangat murka."Kenapa
harus marah? Siapa yang membubarkan PKI,"tanya Adjie seperti dikisahkan
dalam Pikiran Rakyat, 7 Oktober 1989."Ya Jenderal Soeharto,"jawab
Leimena."Lha bagaimana? Betul Soeharto yang membubarkan PKI, tapi kan
dia melakukannya berdasarkan Surat Perintah
Sebelas Maret,"kata Adjie. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Adjie
kemudian naik pangkat menjadi letnan jenderal. Namun kenaikan itu
dibarengi penugasan dari presiden untuk menjadi duta besar di Inggris.
Sebagai tentara, tanpa banyak pertimbangan, Adjie menerima tugas itu
dengan lapang dada.
Komentar
Posting Komentar